DENPASAR - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang hadir dalam lawatannya di Bali usai melakukan kunjungannya di Merauke, Minggu (03/11/2024) di Denpasar, menuai banyak kontroversi ada yang setuju dan tidak setuju.
Dalam kunjungannya ini Prabowo sempat mengungkapkan bahwa akan membangun satu lagi bandara North Bali International Airport, ia berkomitmen menjadikan Bali 'a new Singapore dan a new Hongkong'.
"Bandara Bali Utara? Saya sudah menyampaikan berkomitmen saya ingin membangun North Bali International Airport. Kita bikin The new Singapore dan The new Hongkong, " ungkap Prabowo Subianto.
Prabowo menginginkan kesejahteraan dan kemakmuran yang merata. Ia meyakini, harus berani berpikir yang besar, berani berpikir bagi orang lain tidak mungkin. Kita buktikan menjadi mungkin.
"Indonesia harus makmur, harus sejahtera dan Indonesia harus adil, ” tandasnya.
Pernyataan ini mendapat respon publik di media sosial yang beragam, kondisi ini dapat menyebabkan blunder yang mengindikasikan ketidakpahaman pemimpin (presiden) terhadap pariwisata dan pariwisata Bali khususnya.
Akan lebih fatal lagi bilamana jargon 'satu jalur' pemikiran absurd ini kemudian di telan oleh calon no 1.
"Bali is Bali, Bali is not New Singapore / Hongkong, " sebut salah satu pengamat dalam diskusi WA group.
Bahkan nada miring di sejumlah komentar di akun FB gusde menyebutkan,
"Maaf pak, Bali is Bali Kami nggah
Mau pulau ini seperti singapore atau
Hongkong, orang SG atau HK aja
liburan ke Bali. Aneh konsep anda
ni, Fix saya nggak milih calon
Gubernur anda. Konsep pemikiran bu
Mega lebih cocok untuk
pembangunan Bali ke depan"
Kemudian wahyuwahyuputra,
"BALI METAKSU BERBUDAYA. Bali
butuh Ajegang Seni dan Budaya. Bali
dikenal dengan Budaya dan Seni
yang sangat minat wisatawan untuk
datang ke Bali, KOSTER GIRI Iah yg
tepat untuk BALI"
Komentar Prabowo inilah menjadi kontrovesial diduga karena kondisi Pilkada seperti saat ini.
Menghubungi Sugi Lanus yang komentarnya sangat ramai ini mengungkapkan bahwa dirinya menulis itu dimaksudkan untuk konsumsi teman - teman dan itu sebagai bentuk dukungan ke Presiden terpilih untuk mendasarkan wacana pembangunan Bali lebih berbasis kultural.
"Saya dukung presiden terpilih dengan jalan mengawal dari jauh jangan sampai presiden dijebak maklar dan kawan-kawan, Kasihan jika sampai begitu. Airport dan pariwisata Bali sudah dikuasai rente dan maklar, " ungkapnya.
Tulisan Sugi Lanus:
𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗽𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗮𝗻 𝗣𝗿𝗲𝘀𝗶𝗱𝗲𝗻 𝗣𝗿𝗮𝗯𝗼𝘄𝗼 𝗦𝘂𝗯𝗶𝗮𝗻𝘁𝗼 𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗹𝗶 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 “𝗧𝗵𝗲 𝗡𝗲𝘄 𝗦𝗶𝗻𝗴𝗮𝗽𝗼𝗿𝗲" 𝗮𝘁𝗮𝘂 "𝗧𝗵𝗲 𝗡𝗲𝘄 𝗛𝗼𝗻𝗴 𝗞𝗼𝗻𝗴".
Dalam berbagai pemberitaan media disebutkan Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk membangun North Bali International Airport. Presiden juga menyebut akan menjadikan Bali sebagai "The New Singapore" atau "The New Hong Kong."
Tentu perlu diapresiasi “semangat membara” presiden baru kita, Presiden Prabowo Subianto. Tetapi, mewacanakan arah pembangunan Bali menjadi “The New Singapore" atau "The New Hong Kong" tidaklah bisa sesederhana itu. Pasti akan menuai kritik dan kontraversi masyarakat Bali.
Pulau Bali dan pendudknya bukan wilayah Nusantara yang ahistoris. Peradaban Bali membentang dari awal milenium pertama masehi, sudah memiliki keunikan budaya dan teologis. Secara bertahap alam Bali yang subur dan membentang indah di akhir milenium pertama dikembang secara sangat strategis sesuai lanskap alamnya, digarap menjadi persawahan padi dengan sistem irigasi berbasis pengetahuan dan kearifan lokal: Subak.
Setidaknya dari 1200 tahun lalu masyarakat Bali bertumbuh dengan kesadaran desa pakraman dan adat yang ketat menjaga alam dan budayanya. Sama sekali berbeda secara historis, budaya, dan religiositasnya jika dibandingkan dengan Singapore dan Hongkong.
Siapapun yang memimpin Bali dan Indonesia, sudah semestinya memiliki pemahaman budaya, memililik apresiasi kultural terhadap keunikan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia yang kaya akan warisan budaya dan keindahan alam.
Dalam berbagai diskusi budaya dan kepariwisataan, setidaknya semenjak tahun 1970-an, para pemikir kebudayaan dan perintis pariwisata Bali menegaskan bahwa Bali tidak bisa disamakan atau dikonsepkan menjadi "New Hong Kong" atau "New Singapore, " mengingat karakteristik dan daya tarik berbeda yang dimiliki pulau ini.
Singapura dan Hong Kong, sebagai pusat ekonomi dan keuangan utama di Asia, berkembang dengan fokus pada infrastruktur modern dan pembangunan wisata buatan. Kedua kota tersebut memanfaatkan keterbatasan sumber daya alam untuk membangun gedung-gedung tinggi dan area bisnis yang maju. Dengan berbagai “maneuver reklamasi” untuk perluasan kota, mereka lewat pembiayaan yang bombastis menghadirkan pengalaman wisata buatan yang berpusat pada kemajuan teknologi dan memproduksi budaya pop untuk dikonsumsi oleh masyarakat urban.
Kedua pusat ekonomi tersebut tentu tidak serta merta cocok menjadi acuan dalam mengembangkan kepariwisataan Bali.
Setidaknya, semenjak tahun 1970-an, ketika kawasan “tertutup” Nusa Dua dikembangkan, Bali telah mencanangkan arah pariwisata Bali adalah “pariwisata budaya”.
Ini mesti dilihat dan dibaca kembali — silahkan membuka-buka kembali dokumen perencanaan Pulau Bali yang dikaji secara serius di era tahún 1970-an, serta berbagai kajian dampak pariwisata terhadap lingkungan dan dampak budaya Bali yang terus dibuat oleh pemerintah Bali bersama para budayawan dan akademisi, setidaknya dari Repelita I sampai sekarang.
Kajian-kajian tersebut berbicara sebaliknya, berbeda dengan Hongkong dan Singapore, daya tarik utama Bali terletak pada kekayaan alam dan budayanya yang beraneka ragam. Sebagai pulau yang dikenal dengan keindahan pantainya, keragaman upacara agamanya, serta seni dan budaya tradisional yang tetap lestari, Bali menawarkan pengalaman yang otentik dan berbeda dibandingkan destinasi lain di dunia.
Sejarah panjang kesenian dan budaya Nusantara yang mewarnai Bali membuatnya unik, memancarkan pesona yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Presiden Prabowo dan kementerian terkaitnya semestinya mendorong pariwisata budaya yang menekankan pentingnya pelestarian seni, budaya, adat istiadat agama Hindu Bali dalam menarik lebih banyak wisatawan berkelas yang menghargai keberagaman, harmoni dengan alam, harmoni dengan manusia lain, dan mengapresiasi keimanan atau aspek Ketuhanan menurut tradisi Hindu Bali yang terekspresikan dalam liturgi dan seni budaya yang sangat kaya.
Ini artinya, kebijakan pemerintah pusat dan daerah sudah seharusnya tidak grasa-grusu berwacana, semestinyalah secara sinergia memastikan bahwa membangun Bali tidak hanya berfokus pada infrastruktur fisik belaka.
Harus secara baik dan mendasar memahami, secara etik dan filosofis mendasarkan wacana pembangunan Bali, bahwa pembangunan Bali koridornya adalah pelestarian alam, nilai-nilai budaya, dan religiositas yang dianut masyarakat Bali.
Masyarakat Bali dari awal kepariwisataan memiliki jargon: “Pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata” — ini mesti direnung secara serius.
Jika “Bali untuk pariwisata”, maka Pulau Bali dijadikan sapi perah pemerintah pusat dan para pengusaha, semata-mata Bali dijadikan sumber penghasilan, berkecenderungan abai mempertimbangkan dampak budaya, agama, dan lingkungannya, atas nama pertumbuhan income dari pariwisata. Sebaliknya, jika “pariwisata untuk Bali”, maka yang pertama-tama menjadi pertimbangan adalah bagaimana mempertahankan dan melestarikan alam Bali, budaya dan seni Bali, serta adat istiadat agama masyarakat Bali.
Pariwisata adalah sarana untuk “membiayai dan merawat” alam, budaya dan adat istiadat Bali.
Pariwisata bukanlah agama masyarakat Bali; pariwisata adalah “kendaraan” menjaga alam Bali, pengembangan budaya dan agama masyarakat Bali.
Tidak mengorbankan alam. Tidak mengorbankan budaya dan adat Bali. Pulau Bali akan hancur jika pembangunannya didorong ke arah yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal, identitas agama dan budaya Bali.
𝗦𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝗘𝗺𝗮𝘀!
Sugi Lanus
(Ray)